Natalie

Jumat, 30 Maret 2012

Disintegrasi Bangsa

Indonesia terkenal dengan beragam budaya dari Sabang sampai Merauke. Mulai dari bahasa, adat, tarian, dsb. Indonesia punya segudang sejarah yang tak ternilai oleh harga. Alam Indonesia amatlah subur, banyak SDA yang bisa kita manfaatkan dari alam Indonesia. Mulai dari pangan hingga tambang, Indonesia punya segalanya. Indonesia adalah negara paru-paru dunia yang memiliki hutan terbesar nomer 3 di dunia. Beragam flora dan fauna yang dimiliki Indonesia. Pejuang-pejuang yang gigih pun lahir di tanah Indonesia. Mereka bahkan rela mengorbankan nyawanya demi bangsa tercinta ini. Banyak warga negara asing yang iri dengan keanekaragaman Indonesia.

Namun tahukah kalian apa yang terjadi pada Indonesia saat ini?

Disisi yang begitu mengagumkan dari Indonesia, terdapat segudang noda yang telah membuat Indonesia semakin terpuruk. Banyak terjadi kericuhan dimana-mana. Tindakan anarkis yang tak kunjung usai. Krisis ekonomi dan keuangan yang parah menyentakkan bangsa Indonesia dari tidur pilas. Bangsa ini selama tiga puluh tahun dininabobokan oleh prestasi pembangunan ekonomi yang semu. Ketika perekonomian ambruk, muncul gerakan reformasi yang dimotori kalangan cendikia di tanah air. Pergantian pemerintahan pun terjadi sebagai dampak gelombang tuntutan reformasi. Menyusul peristiwa ini, muncul gejala kian menguat ketidakpuasan kelompok masyarakat di beberapa kawasan di Indonesia terhadap negara kesatuan
Indonesia. Dalam konteks ini, issue disintegrasi menjadi sentral. Pertanyaan kita kini adalah, apakah reformasi yang ber-ruhkan demokratisasi berbanding lurus dengan disintegrasi atau sebaliknya? Apa langkah terbaik bangsa ini ke depan agar keutuhan dapat dipertahankan secara tidak artifisial?

Disintegrasi secara harfiah difahami sebagai perpecahan suatu bangsa menjadi bagian-bagian yang saling terpisah (Webster’s New Encyclopedic Dictionary 1996). Indikasi lain dari potensi ini adalah usia bangsa (age of nation) yang relatif muda (53 tahun). Bangsa biasanya didefinisikan secara harfiah sebagai “a community of people composed of one or more nationalities with its own territory and government (Webster’s New Encyclopedic Dictionary 1996). Dalam diskursus sosiologis konsep bangsa ini mendapat perhatian penting pada gejala nation state (Giddens 1995). Jarry dan Jarry (1997) mengatakan bahwa negara bangsa tidak lain adalah bentuk modern dari negara. Ia mempunyai batas wilayah yang jelas. Dalam hal ini batas negara dan masyarakat cenderung bersifat koekstensif. Maksudnya, wilayah yang diklaim suatu negara bertalian erat dengan pembagian budaya, ethnik dan linguistik. Fenomena bangsa (nation) adalah relatif baru dalam peradaban manusia. Dari ratusan bangsa yang kini ada, hanya 45 yang mengklaim telah ada sebelum abad 20. Sekitar 120 bangsa mengklaim mereka muncul kurang lebih 90 tahun silam. Dan 90 bangsa lainnya baru lahir pada 45 tahun terakhir ini. Diyakini secara meluas, bahwa aspek usia bangsa ini mempunyai pengaruh pada tingkat integrasi suatu bangsa.

Selama ini integrasi bangsa Indonesia yang sangat multi budaya (multicultural) dan majemuk (plural), direkat oleh beberapa faktor. Pertama adalah faktor kepemimpinan dan pemerintahan yang kuat (strong leadership and strong state). Di tengah masyarakat madani (civil society) yang lemah, memang faktor ini menyumbang secara signifikan terhadap integrasi. Issue dan gerakan disintegratif seperti separatisme Aceh, Irian, Timor-Timur dapat ditepis secara relatif mudah. Faktor kedua adalah peranan ABRI lengkap dengan pendekatan keamanannya. ABRI yang cukup kuat, solid dan efisien mampu meredam disintegrasi meski warna koersif relatif dominan. Akan tetapi, dewasa ini pendekatan keamanan banyak digugat oleh banyak kalangan terutama masyarakat yang selama ini marjinal. Pendekatan ini identik dengan kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, primitif dan sebagainya.






Faktor ketiga adalah kesamaan pengalaman historis bercengkerama dengan kolonialisme Belanda. Perekat ini kian pudar sejalan dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai demokrasi dan keadilan sosial. Faktor keempat adalah pembangunan ekonomi yang impresif, meskipun tidak secara nyata berkolerasi dengan keadilan sosial, happiness, demokrasi dan aspek hakikat lainnya dari kehidupan manusia yang asasi. Ketika ekonomi bangsa ini bangkrut, daya rekat faktor ini menuju titik anomali.

Tatkala keempat faktor perekat integrasi kehilangan keampuhannya, disintegrasi diambang pintu. Jika kita ingin bangsa ini utuh di masa kini dan juga jauh ke depan tentunya harus dicari pemersatu baru yang tidak bersifat sementara. Faktor pendukung integrasi yang telah dikemukakan terlebih dahulu terbukti efektif untuk jangka pendek dan memoles integrasi semu. Bagaimana menata sistem masyarakat Indonesia dalam konteks ini agar dicapai integrasi kuat? Tampaknya, penumpuan fungsi integrasi pada peranan kelompok ethnik (agama, kelompok suku bangsa, dsb.) dan budaya (linguistik, dsb.) bukan pilihan tepat di masyarakat majemuk dan multi budaya seperti Indonesia. Bergantung pada peranan mereka seperti ini, kita akan terjebak pada realita kelompok mayoritas dan minoritas. Jika tidak disiasati dengan baik, hal ini merupakan bibit disintegrasi baru.

Tampaknya yang langgeng menjadi peredam disintegrasi adalah demokratisasi yang konsisten. Dalam konteks ini, produk politik, produk legislasi, segera diperbaiki dengan seksama. Mereka adalah kerangka dasar yang melahirkan bentukan struktur sosial di masa mendatang. Keliru dalam hal ini, sejarah akan terulang lagi yaitu munculnya praktek-praktek kekuasaan yang menyimpang dan mengguncang integrasi. Jadi produk legislasi politik, khususnya produk legislasi harus mampu melahirkan bangsa dengan keadaan berimbang antara strong state dan strong civil society. Dalam masyarakat seperti ini diharapkan kemajuan dapat berkolerasi dengan keadilan sosial. Sehingga, tidak ada alasan bagi sebagian kelompok ethnik untuk memisahkan diri dari pangkuan ibu pertiwi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar