Selama menjabat sebagai Presiden, Pak SBY
sudah berkali-kali menyinggung tentang gajinya yang gak naik-naik,
gajinya masih rendah, belum tertinggi. Pada 5 Januari 2009, dalam
pidatonya Pak SBY mengatakan “Gaji presiden harusnya yang paling tinggi, tapi ternyata tidak,”. Lalu, pada 3 April 2009, dihadapan para guru di Surabaya, Pak SBY bercerita didepan para pendidik bahwa “Gaji saya belum pernah naik. Enggak apa-apa,” [1]. Yang terbaru adalah pada saat acara penutupan Rapat Pimpinan (Rapim) TNI dan Polri Tahun 2011 di Jakarta (21 Januari ’11), “Soal kesejahteraan prajurit TNI dan Polri, ini bukan retorika bukan janji-janji kosong bukan kebohongan.
Tiap tahun, kita naikkan gaji dan lain-lain. Renumerasi telah
diberikan. Renumerasi untuk meningkatkan kinerja dan prestasi.
Sampaikan ke seluruh jajaran TNI dan Polri… Ini tahun keenam menuju ketujuh gaji Presiden belum naik. Betul. Tapi memang saya niati. Saya ingin semua sudah mendapatkan kenaikan yang layak, tepat, dan adil. Tolong laksanakan, implementasikan dengan baik,” [2].
Dari ketiga pernyataan tersebut, pesan
Pak SBY cukup jelas. Pak SBY ingin masyarakat terutama audiens memberi
simpati kepada beliau, sekaligus melakukan serangan balik kepada para pengkritiknya.
Hati Pak SBY sangat gundah, dan dari kata-kata dalam pidatnya,
kelihatan sekali beliau marah atas pernyataan bersama Tokoh Lintas
Agama dan Pemuda pada 10 Januari 2011. Romo Benny Susetyo, salah satu
tokoh agama menyampaikan “Kami mengimbau kepada elemen bangsa, khususnya pemerintah, untuk menghentikan segala bentuk kebohongan publik“. Lebih lanjut, Romo Benny menghimbau komponen masyarakat untuk bergerak melawan kebohongan. “Marilah kita canangkan tahun 2011 ini sebagai tahun perlawanan kebohongan,” [3].
Sebagai manusia yang memiliki perasaan,
tentu saja Pak SBY merasa sangat tersinggung ketika dirinya
disebut-sebut menyebar kebohongan. Dan tentu saja beliau sangat kuatir
apabila stigma “bohong” menempel dalam dirinya. Lebih kuatir, gundah dan
marah tatktala Tokoh Lintas Agama dan Pemuda merilis bahwa ada 9
Kebohongan Janji Lama Pemerintah [4] dan 9 Kebohongan Janji Baru Pemerintah [5]. Seperti kita ketahui bahwa angka 9 selama ini merupakan angka “keramat” Pak SBY yang lahir pada tanggal 9 bulan 9 tahun ’49.
Segala bentuk serangan balik dan keluh
kesah yang disampaikan Pak SBY merupakan bentuk pencitraan, suatu habit
beliau yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Pak SBY sama sekali tidak mengeluh agar gajinya naik.
Bukan itu maksud beliau. Pak SBY ingin menunjukkan diri sebagai
negarawan yang peduli dengan rakyatnya. Beliau adalah presiden yang
bekerja keras walaupun negara tidak menaikkan gaji beliau. SBY ingin
mencitrakan diri sebagai pemimpin yang bekerja tanpa pamrih dan tidak
mengeluh. Dia adalah seorang abdi negara.
31.2 Juta Rakyat Hidup Miskin Dibawah Rp 7100 per hari*
Namun sayang, alangkah baiknya Pak SBY
tidak melontarkan kata-kata “gaji tidak naik-naik”. Suatu pencitraan
yang tidak seharusnya dilakukan mengingat ada puluhan juta masyarakat
yang hidup dibawah garis kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS), pada tahun 2010, ada 31.2 juta rakyat Indonesia yang
hidup rata-rata dibawah Rp 7100* per hari [6].
Artinya sebanyak 31.2 juta rakyat Indonesia hanya memiliki penghasilan
rata-rata dibawah Rp 220.000 per bulan. Dan apabila dibandingkan dengan
gaji Bapak Presiden, maka gaji Pak SBY saat ini adalah 290x dari rata-rata 31.2 juta rakyat Indonesia. Sementara, penghasilan 31.2 juta rakyat Indonesia ini gak naik-naik.
Apabila kita menggunakan filosofi, Andre Malraux, seorang penulis dan petualang asal Prancis, ”To command is to serve, nothing more and nothing less“.
Artinya seorang pemimpin tidak lain tidak lebih harus menjadi pelayan
bagi para pengikutnya. Selama ada pengikut atau dalam konteks ini adalah
rakyat yang dipimpinnya, maka tugas seorang pemimpin harus memastikan
bahwa rakyatnya sudah hidup lebih layak selama kepimpinanannya.
Pemimpin harus bisa menepati janji-janji yang ia lontarkan. Janji-janji
yang dituangkan dalam visi yang harus diperjuangkan tanpa pamrih. Selama
visi itu belum tercapai, pemimpin yang baik tidak boleh mengeluh.
Terlebih bila ia dipilih menjadi pemimpin karena tebaran janji-janji
ketika kampanye.
Sebagai kepala negara, maka semestinya
Presiden SBY tidak pantas menyinggung gajinya. Seorang negarawan tidak
boleh lagi membahas gaji, terlebih menjadi seorang Presiden RI, Pak SBY
sudah mendapat semua fasilitas. Pak SBY tidak perlu lagi kuatir dapur
rumahnya tidak berasap. Semua makanan, tempat tidur, kendaraan dinas
hingga pesawat terbang sudah disiapkan. Biaya pengamanan, aksesoris
sudah ditanggung semua oleh dana pajak. Setiap tahun, negara
menghabiskan Rp 400 miliar untuk urusan kepresidenan [7].
Dan tiap bulan Pak SBY sudah mendapat gaji pokok Rp 64.000.000. Belum
ditambah tunjangan yang lain. Angka yang sangat-sangat besar bagi 31.2
juta rakyat Indonesia yang masih berjuang keras melewati hari esok.
Soal Gaji Pak SBY, Coba Bercermin pada Bung Hatta [8]]
Jika ada pemimpin di negeri ini yang
masih terus bertanya tentang kenaikan gaji, fasilitas, pelesiran ke luar
negeri hingga korupsi, maka mereka harus bercermin dari Proklamator
bangsa ini, Bung Hatta. Bung Hatta adalah salah satu sosok tokoh yang
patut menjadi contoh dan inspirasi bagi seluruh rakyat Indonesia,
terutama pemimpin bangsa ini. Selama menjadi Wakil Presiden mendampingin
Bung Karno, Bung Hatta sangat memegang nilai-nilai sebagai negarawan.
Beliau begitu disiplin, berintegritas, dan jujur. Bung Hatta hidup
sangat sederhana dan selalu setia pada kepentingan bangsa.
Salah satu kisah hidup Bung Hatta yang
bekerja tanpa pamrih bagi negeri adalah kisah sepatu Bally. Pada tahun
1950-an, Bally adalah merek sepatu bermutu tinggi yang berharga mahal.
Bung Hatta, ketika masih menjabat sebagai wakil presiden, berniat
membelinya. Beliau kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat
alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu
idaman tersebut. Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi
karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu
kerabat dan handai taulan yang datang kepadanya untuk meminta
pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta
tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi.
Yang sangat mengharukan dari cerita ini,
guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih
tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Hatta.
Jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sebenarnya sangatlah mudah
bagi Bung Hatta untuk memperoleh sepatu Bally. Misalnya, dengan
meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalan Bung
Hatta.
Namun, di sinilah letak kenegarawan dan
abdi negara seorang Bung Hatta. Dalam keadaan hidup sederhana, Bung
Hatta tidak pernah mengeluh kepada masyarakat bahwa beliau hidup
miskin, gajinya kecil, gajinya tidak naik-naik. Sama sekali tidak
pernah. Dia tidak berpidato meminta belas kasihan untuk menaikan
popularitasnya. Dia tidak pernah menggunakan titelnya sebagai
Proklamator agar ia mendapat penghasilan yang tinggi. Bung Hatta tidak
pernah mengatakan bahwa “Seharusnya gaji seorang proklamator sekaligus
presiden harus tertinggi”. Tidak pernah. Ia tidak mau meminta sesuatu
untuk kepentingan sendiri dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan
sukar dan lama, yang ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan orang
lain daripada kepentingannya sendiri.
Bung Hatta meninggalkan teladan besar,
yaitu sikap mendahulukan orang lain, sikap menahan diri dari meminta
hibah, bersahaja, dan membatasi konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau
belum mampu, harus berdisiplin dengan tidak berutang atau bergantung
pada orang lain. Dan yang pasti, beliau tidak curhat agar dirinya
dikasihin sehingga popularitasnya naik. Bung Hatta merupakan sosok tokoh
bangsa yang telah memadukan antara kata dan perbuatannya. Bukan hanya
sebatas slogan “satu kata, satu perbuatan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar